Dasar Hukum :
Perselisihan hubungan industrial adalah :
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Perundingan bipartit adalah :
perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam satu perusahaan, yang dilakukan dengan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat secara kekeluargaan dan keterbukaan.
Perundingan Bipartit merupakan seni penyelesaian antara kedua belah pihak yang dapat dikembangkan sesuai kemampuan, kondisi dan perselisihan yang dihadapi.
Untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial, para pihak melakukan hal-hal sebagai berikut :
A. Pihak pengusaha agar :
B. Pihak pekerja/buruh agar :
Setiap terjadi perselisihan hubungan industrial, wajib dilakukan perundingan penyelesaian perselisihan secara bipartit sebelum diselesaikan melalui mediasi atau konsiliasi maupun arbitrase.
Dalam melakukan perundingan bipartit, para pihak wajib :
ü Memiliki itikad baik;
ü Menghindari / tidak boleh ada intervensi dari pihak lain;
ü Bersikap santun dan tidak anarkis; dan
ü Menaati tata tertib perundingan yang disepakati.
Dalam hal salah satu pihak telah meminta dilakukan perundingan secara tertulis 2 (dua) kali berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi melakukan perundingan, maka perselisihan dapat dicatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-bukti permintaan perundingan.
Lampiran bukti-bukti permintaan perundingan bipartit yang dimaksud di atas dapat berupa :
Perundingan bipartit dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
A. Tahap sebelum perundingan
>> dilakukan persiapan sbb :
B. Tahap perundingan
1) kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan;
2) kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis dan jadwal perundingan yang disepakati;
3) dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama perundingan dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya;
4) para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang disepakati;
5) dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja;
6) setelah mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat dilanjutkan sepanjang disepakati oleh para pihak;
7) setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani, maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud;
8) hasil akhir setiap perundingan dibuat dalam bentuk risalah yang sekurang-kurangnya memuat :
9) rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha, ditandatangani oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak bersedia menandatanganinya, dan minimal dibuat rangkap 2 (dua) untuk diberikan pada para pihak.
C. Tahap setelah selesai perundingan
1) dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial di pengadilan negeri wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama;
2) apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
INSTANSI YANG BERTANGGUNG JAWAB DI BIDANG KETENAGAKERJAAN KABUPATEN/KOTA YANG BERWENANG :
Instansi yang bertanggung jawab di Bidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota yang berwenang untuk menerima pencatatan perselisihan hubungan industrial dan melakukan mediasi adalah instansi yang bertanggung jawab di Bidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota tempat pekerja/buruh bekerja. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit Pasal 4 ayat (1) huruf c angka (2)
“Apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.”
PROSES PHK (BIPARTIT)
LAMPIRAN – LAMPIRAN :
1) Permintaan Perundingan Secara Bipartit. Download
2) Risalah Perundingan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Secara Bipartit.
"
"